ember

Partie de l’histoire courte 3

Bukankah sudah aku ceritakan sebelumnya, bahwa hatimu itu seperti ember. Memang, bongkahan batu bisa memenuhinya, namun tetap saja akan ada ruang yang kosong. Meskipun “batu” itu sudah memenuhi ruang hatimu, tetap saja, pasir, bahkan air akan tetap masuk. Mengisi ruang-ruang yang  kosong. Percaya atau tidak, kamu akan menikmatinya. Ketika hatimu tahu, bahwa batu saja tidak cukup.

Lampu jalan semakin temaram. Lalu lalang kuda besi pun sudah bisa dihitung. Toko-toko kelontong sudah pada tutup sore tadi. Inilah sisi lain dari kota yang orang bilang paling mahsyur. Ada waktunya ia akan tidur, meskipun ia punya sejuta alasan untuk tetap terjaga dan terhibur.

Aku tersenyum sendiri malam itu. Sambil kutarik tuas gas si Krimmy. Siapa si Krimmy? Aihh.. Aku lupa memperkenalkan rupanya. Ia adalah sahabat, kakak, adik, sekaligus kekasihku. Berdua dengannya serasa dunia ini milik kami saja. Menikmati bahagia berdua, tidak sering pula kita berbagi cerita duka. Seperti malam ini.

Krimmy tahu suasana hati. Hatiku sedang dibolak-balikkan. Oleh siapa? Oleh Tuhan barangkali? Atau oleh hatiku sendiri? Mungkin Krimmy lebih tahu. Pintar benar benda mati itu menghibur tuannya. Atau malah sedang cemburu? Puh… Tuanku punya pujaan hati (lagi). Mungkin begitu pikirnya. Ia merengek dan beringsut pelan, lalu terdiam.

Tuhan memang Maha Humoris. Sudah Dia bolak-balikkan hatiku, Dia tambah lagi. Mau tidak mau aku harus mendorong si Krimmy yang diam membisu, ngambek karena lupa diberi makan tuannya. Aku pun masih tersenyum, memikirkan hal yang bisa dianggap bodoh tadi. Ketika kamu tahu dan melihat dengan mata dalam kepalamu. Aku sedang menceritakan tentang dirimu, disini.

Boleh jadi, dalam pikirmu ini cuma basa-basi. Tapi aku yakin, sisi hatimu yang lain mengatakan ini benar dan suci. Apa kau ingin tahu yang sebenarnya? Maaf, hanya aku yang boleh tahu rahasiaku. Kamu cukup bersabar saja. Tirulah para petani yang bersabar menuggui padinya ranum. Dan memanen ketika sudah tiba waktunya.

Beruntungnya aku, jarak tiga ratus meter dari tempatku tepekur tadi, masih ada pedagang kaki lima duduk sendiri. Ia menyediakan berbagai penganan kecil, dan yang paling kucari, bensin. Penganan wajib bagi si Krimmy. Bagi sebagian kita, pedagang kaki lima tidak punya arti — setidaknya sampai kita kehabisan bensin di tengah malam begini. Mereka adalah oasis di tengah padang gurun yang dahaga. 

Rupanya aku baru sadar, uang kembalian dari si Ibu penjual bensin tadi sudah tak ada di kantong. Raib kemana? Dicopet tuyul? Jatuh dari kantong? Atau apa? Aku memutuskan kembali. Barang lima menit aku sampai di tempat tadi. Aku tergagap. Toko itu sudah tutup. Kemana rupanya di pergi? Tidak mungkin ia secepat itu. Mungkinkah Ibu tadi seorang malaikat?

Cerita sebelumnya >> Cerpen 2 

Cerita selanjutnya >> Cerpen 4

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *