Pengalaman kerja di Afrika ini kurang lebih sudah saya jalani selama 5 tahun. Saya pertama kali berangkat pada bulan Januari 2015. Berarti kurang lebih sekitar 7 bulan lagi akan genap menjadi 5 tahun saya berada di tanah Afrika. Tulisan saya ini kebanyakan saya isi dengan foto-foto pengalaman kerja di Afrika.
Tanah Afrika memang tandus. Orangnya tak ramah senyum. Harus menyapa dulu baru mereka akan menyapa balik. Mata mereka selalu mengikuti gerak-gerik kita.
Orang Afrika kelihatannya garang. Namun kalau sudah kenal mereka ramah juga seperti orang Indonesia. Wajar saja, kalau kita melihat bule lewat juga mata kita melarak-lirik mereka.
Pengalaman di Mesir
Pertama kali naik pesawat jarak jauh dengan modal Bahasa Inggris yang pas-pasan. Jangan tanya soal Bahasa Arab, perbendaharaan kata saya cuma sebatas apa kabar, siapa namamu, kamu berasal dari mana. Tak masalah. Jalan terus. Bicara terbata-bata di bandara. Tanya gate kepada petugas dengan bahasa seadanya.
Baca juga >> Piramida Giza di Kairo, Mesir
Presentasi pertama di hadapan orang-orang Mesir. Grogi dan takut jadi satu. Satu dua kali grogi. Yang ke-3 sudah tak kenal takut lagi. Jalan terus.
Kepercayaan diri meningkat. Siap ambil bagian ini. Sudah berani jalan-jalan sendiri ke Aleksandria. Naik bis dan kereta api sendirian. Takut? Sudah tidak ada lagi rasanya waktu itu.
Pengalaman di Sudan
Pengalaman 2 tahun di Mesir membuat saya punya bekal dan keberanian untuk menjelajah negara lain. Tawaran awal ke Maroko, saya iya-in. Tawaran berubah, jadi ke Sudan. Pantang mengubah haluan, saya berangkat ke Sudan pada akhir Februari 2017.
Baca juga >> Berkunjung ke Sudan National Museum, Khartoum
Negara yang hanya memiliki dua (2) musim, musim panas dan musim panas sekali ini berhasil saya tinggali hingga saat ini. Sejauh ini saya sudah mengajukan surat pengunduran diri ke General Manager namun masih belum diperbolehkan.
Baca juga >> Semua Akan Resign Pada Waktunya
Kencangkan Ikat Pinggang
Tinggal di negara Timur Tengah memberikan saya banyak keuntungan. Diantaranya yaitu kemudahan akses ke negara tetangga yang didukung dengan seringnya promo tiket pesawat.
Di sisi lain, ini yang membuat kita harus selalu kencangkan ikat pinggang. Jangan dikit-dikit ada promo, langsung booking. 80% penghasilan yang didapat di luar negeri sebisa mungkin harus digunakan untuk hal-hal yang penting. Jalan-jalan boleh tapi harus paham berapa budget maksimal yang boleh kita hamburkan.
Maka dari itu saya lebih memilih jalan-jalan ke tempat wisata lokal saja. Lebih murah, tidak perlu mengeluarkan uang dollar, dan tanpa visa.
Jalan-jalan ke tempat wisata lokal juga membuat khasanah pengalaman kita bertambah. Kita jadi tahu budaya dan masyarakat setempat yang memang berbeda jauh dengan tempat yang kita tinggali.
Sebagai contoh, saya tinggal di Kairo dan saya jalan-jalan ke Sinai. Saya jadi tahu bagaimana cara orang Badui di Sinai hidup. Bagaimana caranya mereka bertani, infrastruktur yang terbatas, dan sebagainya.
Beda lagi ketika saya jalan-jalan ke Shendi untuk mengunjungi piramida Meroe. Dalam upaya mencari hotel, ujungnya malah ditawari menginap di salah satu penduduk lokal Shendi. Kami disuguhi makanan dan minuman layaknya seorang tamu besar dari jauh.
Bahagia bukan main. Pengalaman ini belum tentu kami temukan kalau kami hanya diam saja di kota Khartoum.