Mahasiswa: Job Seeker vs Problem Solver ?

Job seeker vs Problem solver
Job Seeker vs Problem Solver

Mahasiswa mengaku sebagai agen perubahan, seorang problem solver. Mengaku begitu, kenapa mereka malah menjadi job seeker, bukan job creator?

Jumlah mahasiswa di Indonesia tahun 2010 ada sekitar 4 juta. Dari jumlah ini, lebih dari 650 ribu lulus setiap tahun. Kalau kita salah satu dari lulusan tersebut, artinya kita bersaing dengan ribuan mahasiswa lainnya untuk berebut 1 kursi pekerjaan. Berat memang. Tapi begitulah adanya. Kurikulum pendidikan kita memang diciptakan untuk melahirkan job seeker.

Mahasiswa ketika kuliah biasanya sangat bangga, apalagi ketika duduk di kursi organisasi sekelas Himpunan Mahasiswa (HM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), atau Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Dengan lantang mereka berkoar-koar, “Kami adalah agen perubahan. Mari kita rubah bangsa ini ke arah yang lebih baik”. Begitu teriak mereka ketika berdemonstrasi. Semangat. Menggebu-gebu.

Setelah mereka lulus, kemanakah suara-suara tersebut?
Kebanyakan dari mereka sibuk melamar kerja, sehingga tidak ada waktu untuk berkoar-koar lagi. Atau sibuk bekerja, menjadi bawahan di suatu perusahaan, sehingga untuk berdemonstrasi pun tidak ada waktu. Kecuali demo menuntut kenaikan upah. Begitulah siklusnya. Menggebu ketika kuliah, namun padam ketika sudah lulus.

Kebanyakan mahasiswa berorientasi bahwa setelah lulus mereka akan menggunakan ijasahnya untuk melamar pekerjaan. Saat kuliah mengikuti seminar sana-sini, mengumpulkan sertifikat, yang mungkin bisa menambah poin plus ketika melamar kerja. Antri dengan ribuan lulusan lain, berpeluh keringat, mengikuti wawancara di auditorium kampus. Keadaan seperti itu sangat mainstream dan sering kita lihat di lingkungan kita. Apakah salah?

Chairul Tanjung seorang lulusan kedokteran gigi. Pada tahun 1987 ia lulus kuliah. Saat itu pekerjaan dokter masih sedikit. Dia tidak tergiur dengan gaji tinggi seorang dokter gigi. Apa yang ia pilih? Chairul Tanjung memilih membuka usaha, job creator.

99% orang yang berhasil, secara finansial atau politis, bukanlah orang mainstream.

Sebagai seorang “agent of change“, ketika melihat suatu masalah, maka harus diselesaikan. Ya, seharusnya mahasiswa menyelesaikan masalah itu. Buat lapangan kerja baru. Atau minimal, bekerja untuk dirinya sendiri, tidak usah melamar kerja. Berdalih mereka tidak punya modal untuk membuka usaha, itu salah. Modal utama adalah kemauan. Ketika sudah mau dan ingin, otaknya akan mampu berpikir melebihi kemampuannya. Otak akan menjadi jenius.

Ketika memutuskan menjadi seorang job seeker atau problem solver, yakinlah bahwa itu keputusan kamu sendiri. Bukan tuntutan dari orang tua, kekasih, sahabat atau pihak lain. Namun, derajat kita pasti akan naik, baik di mata manusia maupun mata Tuhan, ketika menjadi seorang problem solver.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *