Orang Sudan memakai pakaian jallabiah

Sejarah Bangsa Sudan

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya mengenai seluk beluk negara dan sejarah bangsa Sudan. Kamu bisa membaca tulisan sebelumnya pada link berikut ini >> Yang Harus Kamu Ketahui Tentang Sudan.

Masyarakat pertama yang tinggal di wilayah Sudan modern adalah orang Meroitic. Mereka tinggal di kawasan antara Atbara modern dan Sungai Nil pada tahun 590 SM hingga 350 SM. Waktu itu kota Meroe dikuasai oleh orang-orang Ethiopia. Terdapat 3 kerajaan Kristen waktu itu – Nobatia, Makurra, dan Alwa – masing-masing menguasai daerah di sekitarnya. Beberapa ratus tahun kemudian, pada 641 M, bangsa Arab datang membawa agama Islam. Bangsa Arab mengadakan perjanjian damai dengan orang Kristen. Tetapi lama kelamaan, jumlah penganut agama Kristen perlahan menurun karena orang Arab semakin banyak yang datang ke tanah Sudan.

Piramida Meroe di Sudan
Piramida Meroe di Sudan

Pada tahun 1504, orang Funj datang dan memimpin orang Sudan selama 3 abad lamanya. Inilah yang kita kenal dengan nama the Black Sultanate atau Kekaisaran Orang Hitam. Lalu dari mana orang Funj ini datang? Beberapa peneliti berspekulasi bahwa mereka adalah keturunan atau bagian dari suku Shilluk, suku yang berada di selatan Sudan yang bermigrasi ke utara. Pemuka Funj memeluk Islam, dan dinasti mereka menyebarkan agama Islam ke seluruh Sudan.

Pada tahun 1800an, perdagangan budak menjadi bisnis yang menjanjikan di Sudan. Perdaganan budak sudah tersistemasi selama puluhan tahun, lalu pada abad ke-19, orang Egypt mulai mengambil budak asal Sudan untuk menjadi tentara mereka. Orang-orang Eropa dan pedagang dari Arab yang datang ke Sudan yang mencari gading gajah juga mendirikan pasar perdagangan budak. Perdagangan budak merusak struktur kesukuan dan hampir melenyapkan beberapa suku yang lebih lemah. Baru pada abad ke-20 perdaganan budak akhirnya dihapuskan.

Tahun 1820, Egypt yang saat itu adalah bagian dari Ottoman Empire, menyerang Sudan, dan memerintah selama 60 tahun sampai pemimpin Sudan Muhammad Ahmed, yang lebih dikenal dengan nama Mahdi “promised one” mengambil alih pada tahun 1881.

Ketika Inggris mengambil alih Egypt pada tahun 1882, mereka pun waspada terhadap peningkatan kekuatan Mahdi. Di pertempuran Shaykan tahun 1883, pengikut pemimpin Sudan mengalahkan tentara Egypt dan British. Tahun 1885, pasukan Mahdi mengalahkan pasukan Egypt dan British di kota Khartoum. Setelah kemenangan itu, tidak disangka-sangka Mahdi meninggal dunia tahun 1885 yang kemudian diteruskan kepemimpinannya oleh Khalifa Abdullahi.

Bendera Anglo-Egyptian Sudan
Bendera Anglo-Egyptian Sudan

Pada tahun 1896 Inggris dan Egypt kembali menyerang Sudan, Sudan akhirnya kalah pada tahun 1898 di Pertempuran Omdurman. Kontrol Inggris dan Egypt akhirnya berakhir pada tahun 1956. Pada tahun 1922, Inggris mengadopsi kebijakan pemerintahan tidak langsung, di mana para ketua suku diberi tanggung jawab administrasi lokal dan pengumpulan pajak. Hal ini memungkinkan Inggris untuk memastikan dominasi mereka atas wilayah itu secara keseluruhan, dengan mencegah munculnya tokoh nasional dan membatasi kekuatan orang-orang Sudan yang berpendidikan lebih tinggi.

Sepanjang tahun 1940-an gerakan kemerdekaan di Sudan memperoleh momentum. Kongres Terpelajar dibentuk, sebuah badan yang mewakili orang Sudan yang berpendidikan di atas pendidikan dasar dengan tujuan utamanya adalah Sudan merdeka.

Pada tahun 1952, Raja Farouk Mesir digulingkan dan digantikan oleh Jenderal Neguib yang pro-Sudan. Pada tahun 1953 para penguasa Inggris-Mesir setuju untuk menandatangani persiapan tiga tahun untuk kemerdekaan, dan pada 1 Januari 1956 Sudan secara resmi merdeka.

Selama dua tahun berikutnya, pemerintahan berpindah tangan beberapa kali, dan ekonomi memburuk setelah dua kali panen kapas yang buruk. Selain itu, dendam di bagian selatan tumbuh; wilayah itu membenci perwakilannya di pemerintahan baru. (Dari delapan ratus posisi, hanya enam yang dipegang oleh orang selatan.) Pemberontak mengorganisir pasukan gerilya yang disebut Anya Nya, yang berarti “racun ular.”

Pada November 1958 Jenderal Ibrahim Abboud menguasai pemerintahan, melarang semua partai politik dan serikat dagang dan melembagakan kediktatoran militer. Selama masa pemerintahannya, oposisi tumbuh, dan partai-partai politik yang dilarang bergabung membentuk Front Bersatu. Kelompok ini, bersama dengan Front Profesional, terdiri dari dokter, guru, dan pengacara, memaksa Abboud untuk mengundurkan diri pada tahun 1964. Rezimnya digantikan oleh sistem parlementer, tetapi pemerintah ini tidak terorganisir dengan baik, dan dilemahkan oleh perang saudara yang sedang berlangsung di Selatan.

Pada bulan Mei 1969 militer kembali mengambil alih, kali ini di bawah Jaafar Nimeiri. Sepanjang tahun 1970-an, ekonomi Sudan tumbuh, berkat proyek-proyek pertanian, jalan baru, dan saluran pipa minyak, tetapi utang luar negeri juga meningkat. Dekade berikutnya terjadi penurunan dalam situasi ekonomi Sudan ketika kekeringan tahun 1984. Di saat yang sama terjadi perang di Chad dan Ethiopia dan ribuan pengungsi masuk ke Sudan, memajaki sumber daya negara yang sudah langka. Nimeiri awalnya terbuka untuk bernegosiasi dengan pemberontak selatan, dan pada tahun 1972 Perjanjian Perdamaian Addis Ababa menyatakan Wilayah Selatan sebagai entitas terpisah. Namun, pada 1985 ia mencabut kemerdekaan itu, dan melembagakan undang-undang baru berdasarkan interpretasi yang parah terhadap kode Islam.

Tentara menggulingkan Nimeiri pada 1985 dan memerintah selama empat tahun berikutnya, hingga Revolutionary Command Council (RCC), di bawah kepemimpinan Jenderal Omar Hassan Ahmed al-Bashir, mengambil alih kekuasaan. RCC segera mengumumkan keadaan darurat. Mereka menyingkirkan Majelis Nasional, melarang partai politik, serikat dagang, dan surat kabar, dan melarang pemogokan, demonstrasi, dan semua pertemuan publik lainnya. Langkah-langkah ini mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengeluarkan resolusi pada tahun 1992 yang menyatakan keprihatinan atas pelanggaran hak asasi manusia. Tahun berikutnya, pemerintah militer dibubarkan, tetapi Jenderal Bashir tetap berkuasa sebagai presiden Sudan.

Ilustrasi tentara South Sudan
Ilustrasi tentara South Sudan

Konflik internal antara utara dan selatan berlanjut, dan pada tahun 1994 pemerintah memulai serangan dengan memotong bantuan ke selatan dari Kenya dan Uganda, menyebabkan ribuan orang Sudan melarikan diri dari negara itu. Perjanjian perdamaian antara pemerintah dan dua kelompok pemberontak di selatan ditandatangani pada tahun 1996, tetapi pertempuran berlanjut. Pada tahun 1998 dilakukan perundingan perdamaian, pemerintah menyetujui suara yang diawasi secara internasional untuk pemerintahan sendiri di selatan, tetapi tanggal tidak ditentukan, dan pembicaraan tidak menghasilkan gencatan senjata. Pada akhir 1990-an, Sudanese People’s Liberation Army (SPLA) menguasai sebagian besar Sudan selatan.

Pada tahun 1996 Sudan menyelenggarakan pemilihan pertamanya setelah tujuh tahun. Presiden Bashir menang, tetapi kemenangannya diprotes oleh kelompok-kelompok oposisi. Hassan al-Turabi, kepala National Islamic Front (NIF), yang memiliki hubungan dengan Presiden Bashir, terpilih sebagai presiden Majelis Nasional. Pada tahun 1998 sebuah konstitusi baru diperkenalkan, yang memungkinkan sistem multipartai dan kebebasan beragama. Namun, ketika Majelis Nasional mulai mengurangi kekuasaan presiden, Bashir mengumumkan keadaan darurat, dan hak-hak lagi dicabut lagi.

Sumber: http://www.everyculture.com/Sa-Th/Sudan.html

 

Baca juga cerita lainnya:

Warung Mie Ayam Bu Rumi di Sudan

Buka Puasa di Sudan

Sekilas Kota Khartoum, Sudan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *