Suatu Masa yang Penuh Kekhawatiran

Aku kawatir terhadap suatu masa yang rodanya dapat menggilas keislaman.
Keyakinan hanya tinggal pemikiran, yang tak berbekas dalam perbuatan.
Banyak orang baik tapi tidak berakal, ada orang berakal tapi tidak beriman.
Ada lidah fasih tapi berhati lalai, ada yang khusuk namun sibuk dalam kesendirian.
Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis, ada ahli maksiat tapi rendah hati bagaikan sufi.
Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat, ada yang banyak menangis karena kufur nikmat.
Ada yang murah senyum tapi mengumpat, ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut.
Ada yang berlisan bijak tapi tak memberi teladan, ada pezina yang tampil jadi figur.
Ada orang yang punya ilmu tapi tak paham, ada yang paham tapi tak menjalankan.
Ada yang pintar tapi membodohi, ada yang bodoh tapi tak tahu diri.
Ada orang yang beragama tapi tak berakhlak, ada yang berakhlak tapi tidak bertuhan.
Lalu diantara semua itu, aku ada dimana?
(Ali bin Abi Thalib)

Realita kehidupan saat ini memang seperti itu. Banyak para sahabat saya yang nonmuslim, namun pemikiran dan sikap mereka sudah mendekati pemikiran para sufi. Mereka berpikir, berkata, dan bertindak sesuai aturan Tuhan. Sedangkan mereka yang benar-benar muslim sibuk bersaing untuk memenuhi perut mereka sendiri.

Ada pula mereka yang pintar memoles kata, mengeluarkannya lewat bibir menjadi kata-kata yang manis. Namun siapa yang tahu, bahwa hati mereka sama busuknya dengan penjajah jaman Belanda. Kata-katanya manis sewaktu berorasi, namun lupa ketika sudah duduk di jabatan.

Tidak sedikit dari mereka yang menggunakan kedok agama untuk membenarkan perbuatan keji mereka. Berdalih “menghormati orang yang berpuasa” mereka datang ke restoran-restoran yang tetap buka di bulan Ramadhan. Apa yang terjadi? Mereka merusak restoran tersebut dan melukai pegawainya. Apakah itu benar yang disyariatkan agama?

Mengaku membela rakyat kecil. Mereka membeli komoditas pertanian dengan harga yang rendah, lalu menjualnya dengan harga tinggi. Berbuat seenaknya sendiri, menaik-turunkan harga seenak udelnya sendiri. Tengkulak terpelajar itu.

Mengaku takut mati, tapi semakin tua tidak semakin sadar diri. Mengaku mencintai orangtua mereka, namun menelpon orangtua sekedar menanyakan kabar pun enggan. Mengaku takut mati, mendengar azan pun “Ahh.. nanti dulu ahh..”. Mengaku takut mati, melihat wanita bercelana pendek atau rok mini dengan belahan dada yang terbuka, mata mereka melotot. Ahh.. dunia yang fana ini …

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *